Minggu, 15 April 2012

Tugas Ketiga

RENCANA PKS KELUAR DARI KOALISI


Dilema Presiden SBY masih berbuntut panjang jika PKS dilepaskan dari kontrak koalisi. Menurut Burhanuddin yang juga peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI), PKS sangat dibutuhkan pemerintah dalam mendapatkan dukungan di DPR.

Jika PKS ditendang, Partai Golkar, tutur Burhanuddin, memiliki daya tawar tinggi dalam koalisi untuk menggantikannya. Saat ini Golkar memang menurutnya tampak melejit dan punya kans mendapat nilai tambah untuk jatah kursi menteri menggantikan PKS jika dikeluarkan dari koalisi.

Di sisi lain, ini membawa bencana kecil bagi pemerintah. Hal itu karena dalam beberapa kasus. Golkar cukup berseberangan dengan Pemerintah yaitu dalam kasus Century, di mana nama Presiden disebut-sebut terlibat dan masalah moratorium remisi koruptor.

Partai Demokrat tidak bisa hanya mengandalkan PAN, PPP, PKB di parlemen. Sebab gabungan antara demokrat dengan ketiga partai itu, jika total di atas kertas kekuatan politiknya hanya mencapai 46 persen. 

"Ke depan ini kan ada banyak persoalan terkait misalnya dalam hak menyatakan pendapat kasus Century. Saat yang sama Golkar dan PKS kalau kita merujuk di sidang paripurna Century itu di opsi C. Misalnya PKS dikeluarkan dan Golkar pada dasarnya menuntut Century di tuntaskan, baik secara umum maupun politik, selesailah itu. Bisa bahaya kan di DPR," jelas Burhanuddin. 

Sama halnya ketika Pemerintah dihadapkan dengan moratorium remisi koruptor. "Kasus moratorium remisi yang akan dibawa ke interpelasi. Itu kan Golkar menuntut ada interpelasi. Sementara PKS mendukung pemerintah untuk moratorium. Bahaya lagi. Jadi banyak hal yang sebenarnya membuat SBY bimbang, berpikir lagi," katanya.
Belum lagi masalah politik lain yang terjadi jika PKS keluar. Menurutnya, PKS bisa bergerak melawan pemerintah setelah dikeluarkan, karena LSI sendiri memandang PKS memiliki basis massa kelas menengah ke atas yang kritis dalam berpikir.

"Nah kalau SBY keluarkan PKS itu justru akan menguatkan dukungan internal PKS. Pertama dikhawatirkan PKS malah tambah besar di luar. Aksi-aksi massa yang digalang PKS akan muncul dan banyak kekhawatiran lainnya," kata dia.
Jika tidak dikeluarkan pun, ada dilema yang muncul dalam Setgab partai koalisi. SBY akan dianggap pilih kasih jika PKS tidak diberikan sanksi atas penolakannya terhadap kebijakan pemerintah.

"Ini bisa dituntut oleh elite Demokrat dan elite koalisi agar SBY memberi reward dan punishment. Partai yang partai loyal akan menuntut. Apa gunanya loyal terhadap pemrintah jika tidak ada insentifnya. Enggak ada reward-nya. Yang tidak loyal mendapatkan keuntungan citra positif di mata publik, tetapi tidak di hukum sama SBY," ujarnya.

Kalau tak segera memutuskan, maka langkah PKS ini akan ditiru partai koalisi lainnya. Apalagi, kini partai loyal dalam koalisi tengah berharap curahan jatah kursi menteri jika PKS didepak.

Akankah SBY segera mengambil keputusan penting atas posisi PKS di koalisi. Burhanuddin menjawab, tak ada yang pasti dalam kebimbangan SBY ini. Keputusan dalam politik harus mengambil resiko. Kini kata dia, SBY yang paling tahu, resiko mana yang paling minimal jika PKS hengkang.

"Memang sekarang ditanya, mungkin hanya SBY dan Tuhan yang tahu akhirnya SBY depak PKS atau tidak. Karena jangankan saya. Mungkin orang terdekat SBY pun saya kira dalam posisi tak tahu secara pasti langkah apa yang akhirnya ditempuh SBY," kata Burhanuddin.

Menurutnya, SBY, harus segera mengambil keputusan, karena rakyat mulai muak dengan sinetron dan drama politik koalisi ini. Kemuakan masyarakat ini bahkan telah muncul sejak pemerintahan SBY Jilid II. Jadi Silakan SBY bersikap.

"Ambil keputusan dan jangan pernah lihat ke belakang, terutama putusan yang diambil terkait PKS dan soliditas koalisi. Pertimbangkan kemuakan masyarakat terhadap drama politik dari elit koalisi yang lebih banyak berbicara soal tarik-menarik kekuasaan. Ambil keputusan sekarang untuk kepentingan publik," pungkas Burhanuddin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar